SYUKUR
Oleh: Dr. Ahmad Qonit AD, MA., Rektor Umtas
Manusia paling hebat adalah mereka yang pandai bersyukur. Bayangkan! Sebagai perwujudan Maha Kasih Allah (Ar-Rahmân) kepada manusia, Dia menciptakan mati dan hidup serta tujuh langit berlapis (QS 67:2-3); Menciptakan manusia sebagai puncak penciptaan, seluruh mahluk diciptakan dalam kerangka manusia; Dia mengajarinya Iptek dan Al-Qurân/Agama(QS 55:1-4). Seorang yang pandai bersyukur sadar betul bahwa dirinya sangat kaya penuh anugrah berkelimpahan tak kurang sesuatu apapun, dan diapun menyadari bahwa dirinya adalah kaki tangan Tuhan Yang Maha Kasih untuk menebarkan segala kasih-Nya kepada segenap alam semesta. Dia selalu menjalankan pesan Nabi “Khoirun nâs anfa’uhum linnâs/manusia terbaik adalah yang lebih banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya”. Dia tidak mengeluh ketika menemui rintangan, kesulitan, atau apapun namanya, karena dia yakin Allah telah menganugrahinya potensi kemampuan untuk mengatasinya, namun sebaliknya terus bekerja keras mengasah potensinya dan tidak pernah merasa lelah terus menanganinya dengan begitu gigih dan penuh semangat.
Kehidupan yang baik adalah garis lurus yang mempertemukan dua titik ekstrim, yakni sabar di satu titik dan syukur di titik yang lain, yang kemudian menyatu mengisi dua sisi dalam satu keping mata uang yang bilamana salah satu saja hilang maka uang alias kehidupan tersebut sudah tidak bernilai lagi sehingga sudah tidak bernilai tukar/bernilai solutif apapun. Pertemuan dua ujung inilah yang menjadikan manusia senantiasa cerdas di dalam membaca ayat-ayat kehidupan yang menjadikannya selalu mampu menghadapi dan menangani segala persoalan “inna fî dzâlika la âyâtin likulli shobbârin syakûrin”/” إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ””sungguh hanya orang yang pandai bersabar dan bersyukur yang secara cerdas dapat membaca ayat-ayat di dalam kehidupan ini sehingga meraih ilmu, petunjuk, dan akal pikiran guna alternatif solusi segala persoalan ” (QS 14:5; 31:31; 34:19; 42:33).
Memberi solusi terhadap persoalan adalah esensi tugas kekhalifahan manusia di muka bumi ini. Meningkatnya tindakan solutif yang dilakukan seseorang, kelompok, ataupun lembaga berbanding lurus dengan meningkatnya derajat dan martabat orang, kelompok, atau lembaga tersebut di dalam konstelasi panggung kehidupan. Inilah yang ditunjukkan QS 14:7 “La-in syakartum la-azîdannakum wa la-in kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd”(QS 14:7). Adalah ketetapan Allah SWT yang tidak akan pernah berubah bagi orang yang bersyukur, bahwa bagi mereka “anugrah ni’mat Nya itu senantiasa bertambah dan berlimpah”. Ini adalah tindakan solutif yang berkelanjutan.
Air selalu bergerak dari tempat yang lebih tinggi menuju ke tempat yang lebih landai atau rendah. Seorang rendah hati “tawadu” senantiasa merasa ketiadaan diri “fanâ” di hadapan Allah SWT. Maka ia selalu menyadari bahwa kehidupan ini adalah rahmat, anughrah, limpahan dari Yang Maha Pengasih Yang Maha Tinggi Yang Maha Agung Yang Maha Besar. Oleh karena itu ia senantiasa memuja, memuji, meninggikan dan mengagungkan Allah SWT, serta berbagi saling menolong pada sesama sebagai rasa syukur atas rahmat-Nya itu. Inilah perilaku, sifat, dan karakter yang menjadi habitat bagi tumbuh suburnya karakter syukur dan sekaligus shabar di dalam diri seorang hamba. Maka Al-Qur’ân menunjukkan “wa litukabbirullâha ‘alâ mâ hadâkum wa la’allakum tasykurûn”” وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ””…dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu senantiasa bersyukur” QS 2:185. Rendah hati bertawadu mengagungkan Allah dalam ekspresi totalitas kedirian adalah kunci menjadi orang yang pandai bersyukur. []